Are you sure you want to delete your dreams?
Gue jago nulis. Kata orang-orang.
Sebenernya nggak murni kata orang juga sih, beberapa orang yang pernah gue cekokin tulisan gue mengakui kalau gue punya bakat nulis. Berbekal pengakuan mereka itu, gue memutuskan bahwa gue bakal jadi penulis. Setiap hari sepulang sekolah gue selalu setia nangkring di depan laptop, saat perjalanan pulang dan pergi sekolah pun gue selalu memikirkan jalan cerita yang bakal gue buat. Gue ngerasa enjoy banget sama dunia penulisan ini, walaupun gue masih pemula. Gue yakin suatu saat nanti dunia penulisan ini bakal menjamin kelangsungan hidup gue. Enak kan kalo kita kerja sesuai dengan bidang yang kita minatin?
Tapi angan-angan gue untuk menjadi penulis pupus sudah ketika gue gagal jadi pemenang dalam lomba nulis dan sepertinya Tuhan belum puas menguji gue, naskah gue ditolak berkali-kali. Saat itu, gue ngerasa bahwa pengakuan temen-temen gue kalau gue jago nulis itu sebenarnya cuma buat ngehibur gue. Kali aja temen gue udah kepalang bosan dengar sinopsis cerpen gue yang selalu gue ceritain dengan semangat dan berapi-api sampai-sampai gue jadi pusat perhatian. Bukan jadi pusat perhatian gara-gara cerita gue menarik, tapi gaya bercerita gue yang bikin orang-orang pengen ngarungin gue dan ngelempar gue ke bak sampah terdekat.
Saat itu gue ngerasa jadi sampah. File-file novel gue yang menemukan ending pun gue buang dengan emosi sesaat. Gue baru menyesal setelah gue mengclick kata yes pada pertanyaan Are you sure you want to delete this file?
Rutinitas gue berubah saat itu. Laptop yang sering gue pake buat nulis pun berubah fungsi jadi alat buat main games doang. Bersamaan dengan itu, cita-cita gue untuk menjadi penulis gue kubur dalam-dalam. Di luar sana, masih banyak penulis-penulis yang hebat dan BENAR-BENAR berbakat. Gue takut bersaing, apalagi kemampuan menulis gue menunjukkan kalau gue nggak pantas untuk bersaing. Ketika gue lihat deretan buku-buku best seller yang terpajang di setiap toko buku, gue cuman bisa menelan ludah. Buku-buku gue nggak bakal mungkin bersanding dengan buku-buku para penulis bestseller itu.
Kekalahan gue ternyata berimbas dengan hubungan sosial gue. Pertanyaan teman-teman seputar progress tulisan-tulisan gue pun gue tanggapi dengan sewot seperti halnya gue menanggapi penerbit-penerbit nggak tahu diuntung itu. Gue yang saat itu lagi kacau menganggap teman-teman gue sengaja nyindir gue pas mereka nanya tentang progress tulisan gue. Hal yang sama pun terjadi ketika seorang teman gue yang sering juara lomba nulis menanyakan progress tulisan gue. Gue awalnya heran, kok bisa-bisanya ya dia sering juara lomba nulis? Padahal tulisannya biasa-biasa aja, nggak ada gregetnya. Malah terkesan mirip sinetron. Saat itulah gue mengira bahwa ada yang salah dengan selera para juri lomba menulis yang diikuti oleh teman gue itu.
Semakin hari, rasa iri hati yang gue alami semakin menumpuk . Namun, pada suatu hari, dengan ego yang sedikit gue tekan, Gue nanya sama temen gue yang jago nulis itu, “Apa sih resep nulis lo sampe-sampe lo sering juara lomba nulis?”
Temen gue yang rendah hati itu menjawab,”Resepnya ini…”katanya sambil menunjuk ke dadanya.
‘ WUH! GOMBAL! Lo pikir selama ini gue nggak nulis pake hati juga apa?!’
“Kita harus punya mental juara…”katanya. “Kita harus siap menang, siap kalah. Siap mengapresiasi, siap diapresiasi,”ucapnya yang bikin gue jadi sadar akan suatu hal yang udah gue lupain. Gue itu pesimis. Gue nggak siap menerima kekalahan. Kekalahan-kekalahan yang udah gue alamin bukannya memotivasi gue, malah bikin gue selalu kalah sebelum bertanding. Gue belum punya mental juara seperti yang temen gue punya.
Kesombongan gue di awal sudah menjatuhkan gue dan membentuk mental pesimis. Ketika berada di atas, gue sombong. Ketika gue jatuh, gue pesimis. Mulai saat itu, gue mulai merubah mindset gue. Kekalahan-kekalahan gue yang lalu seharusnya patut gue syukuri karena kekalahan-kekalahan itulah yang bikin gue semangat untuk membuktikan diri kalau gue bisa. Selain itu, gue pun sadar kalau sifat sombong yang gue punya itu semakin membuktikan bahwa gue itu butuh pengakuan.
Sejak saat itu, gue memutuskan untuk bangkit kembali. Gue mulai rajin nulis lagi meskipun sikap pesimis gue masih tersisa. Tulisan-tulisan gue pun gue bagi-bagikan ke teman-teman dekat gue untuk diapresiasi. Gue minta mereka untuk mengkritik naskah gue secara jujur. Dan, benar saja, naskah-naskah gue masih punya banyak kekurangan. Tapi poin positifnya, gue jadi tahu dimana salahnya, dimana kurangnya. Semakin cepat kita tahu bahwa kita salah, berarti semakin cepat juga kita menemukan kebenaran. Semakin kita berani melakukan hal-hal yang baru tanpa takut salah, semakin dekat pula kita pada kebenaran sejati. Seperti halnya ketika kita sering jatuh saat belajar bermain sepeda roda dua, kita justru akan mencari cara untuk tidak jatuh. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang mengesankan tanpa didahului oleh keruntuhan.
So, are you sure you want to delete your dreams?
NO, tentu saja.
WIDYA ARIFIANTI
*penulis adalah mahasiswi labil yang sering melakukan kesalahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar